Subscribe:

About Me

Foto Saya
hanafia pahardini
Bagaimana aku? Seperti apa aku? Biar kamu yang memutuskan.. ^-^
Lihat profil lengkapku

Kamis, 31 Januari 2013

Jingga (part 3 - end)



Langit berubah jingga saat siang merangkak pergi. Berganti senja malu-malu menampakkan diri sebelum malam mengambil tahtanya dan memeluk dunia dalam hitam. Rei masih termenung di sudut café tempat favoritnya dengan Vio. Sudah setengah jam Rei menunggu gadis itu. Tapi hingga kini, sosok gadis mungil itu belum juga terlihat. Rei  mulai resah. Baru saja hendak mengambil handphone untuk menghubungi Vio, bayangan gadis itu terlihat. Rei segera melambai kearahnya.
                “Sori telat, tadi diculik dulu sama mas Adit”, kata Vio begitu sampai di deket Rei.
Entah mengapa ada sedikit perasaan sakit di hati Rei begitu mendengar nama Adit dari mulut Vio. Apalagi karena Adit-lah Vio terlambat menemui Rei.
                “Owh, diajakin pergi kemana?”, selidik Rei. Mau tak mau rasa penasarannya muncul meski ia tahu jawaban Vio hanya akan melukai hatinya.
                “Muter-muter aja di taman kota”, jawab Vio pendek tanpa mengalihkan matanya dari daftar menu.
                “Trus ngapain? Ngobrolin apa?”. Tatapan Rei tak pernah lepas dari gadis di hadapannya. “Stop Rei! Kamu cuman akan nyakitin dirimu sendiri. Kamu udah tahu jawaban atas pertanyaanmu tadi!”, batin Rei berkata.
Vio menghela nafas. Ditutupnya daftar menu, lalu dipanggilnya pelayan café. Vio memesan cokelat dingin dan blueberry cheese cake kesukaannya. Dengan tenang Vio menatap Rei.
                “Mas Adit bilang sayang sama aku. Dia mau aku jadi pacarnya.”, kata Vio datar.
Hening. Tatapan Rei terpaku pada gadis itu. Hatinya panas. Dia tak suka ada orang lain yang memiliki Violet-nya. Ada ribuan kata yang ingin dia ucapkan. Tapi mulutnya bisu. Otaknya tak lagi bisa memilih kata mana yang akan diucapkannya terlebih dahulu.
Bilang kalo kamu ga mau aku pacaran ma dia! Bilang kalo kamu pengennya aku jadi pacar kamu!”, bisik Vio dalam hati. Namun, bukan kata-kata itu yang Rei ucapkan. “Kamu terima?”, tanya Rei dengan ekspresi yang sulit diartikan Vio. Vio menghela nafas. Pandangannya beralih ke langit senja yang memudar kehitaman. “Aku nggak tau”, jawabnya setelah beberapa saat. “Aku gak bisa kasih jawaban ke mas Adit di tengah semua ketidakjelasan hubungan kita, Rei”, lanjutnya dalam hati.
***
“Kamu ini kenapa sih Rei? Kamu udah ga peduli ma Vio?”, Dina berteriak marah kepada laki-laki di hadapannya. Udah sebulan sejak terakhir kali Rei bertemu Vio di café, senja itu. Rei menunduk. Ditatapnya secangkir cappucino yang dia pesan di foodcourt kampus. “Rei!”, kata Dina lagi “Violet sekarang lagi terbaring lemah di rumah sakit! Ntar sore kepalanya bakalan dioperasi! Ada gumpalan darah karena benturan keras waktu dia kecelakaan kemaren!”, lanjutnya. Rei menghela nafas. Hatinya sesak. Kalau mau menuruti keinginannya, Rei pasti sudah di rumah sakit sekarang. Menemani Violet tanpa pernah beranjak dari sisinya. Tapi Rei tak bisa melakukan itu. Ada secuil hatinya yang tak mengijinkannya melakukan hal tersebut, setelah apa yang Rei pastikan tadi malam. Rei sempat menengok Vio tadi malam, saat hatinya didominasi oleh rasa cintanya pada Vio. Namun hatinya kembali bergejolak saat tiba di depan kamar Vio. Bukan karena melihat wajah pucat gadis yang dicintainya. Tapi karena Rei melihat orang lain yang menunggui Vio. Dina, Papa Vio, dan seorang wanita yang sangat dikenalnya.  
“REII!!!”, Dina berteriak marah. “Ada kemungkinan Vio bakalan amnesia! Dia gak akan inget apa-apa Rei!”. Rei menghela nafas. Menata hatinya yang kini terasa sesak. “Mungkin ini yang terbaik buat aku sama Vio. Mungkin ini yang disebut takdir”, Rei mulai berbicara. “Akan lebih baik kalau Vio gak inget apa-apa tentang aku”, tambahnya.
“Aku gak habis pikir! Vio tu sayang sama kamu. Kamu juga sayang sama Vio. Trus apa masalahnya ampe kamu bertingkah kayak gini?" , Dina terus mencecar Rei.
“Ada banyak hal yang kamu gak tau, Din”, Rei kembali menghela nafas. “Ini bukan hanya tentang aku dan Vio.”
***
                Tiga bulan berlalu sejak Vio dioperasi. Benar dugaan dokter. Ada beberapa hal yang Vio lupa. Termasuk pertemuannya dengan Rei. Vio hanya ingat kemampuan untuk hidup sehari-hari seperti mandi, makan, memakai sepatu. Tapi Vio tak bisa mengenali orang-orang yang pernah ada dalam hidupnya.
                “Anak mama ini ditungguin ko malah ngelamun”, sapa seorang wanita paruh baya pada Rei. Rei mengalihkan pandangan dari jendela kamarnya ke arah pintu masuk, lalu tersenyum. “Ngelamunin apa sih Rei?”, lanjut wanita itu.
                “Gak apa-apa kok Ma. Cuman inget temen lama”, jawab Rei singkat. Wanita itu berjalan mendekati Rei. “Makasih ya Sayang, kamu udah menyetujui mama buat menikah lagi”, wanita itu mengusap kepala Rei. Rei menyentuh tangan mamanya. “Apapun Rei akan lakuin buat kebahagiaan mama. Mama yang udah jagain Rei dari kecil. Mama yang selalu belain Rei waktu Rei diejek gak punya papa. Cuman mama yang slalu ada buat Rei. Rei bakalan nglakuin apapun buat bikin mama bahagia”, ucap Rei tulus.
                Mama Rei tersenyum. Ditatapnya putra satu-satunya yang kini telah tumbuh dewasa. Bayi kecil yang dulu digendongnya itu kini telah menjadi sosok pria dewasa yang membuatnya bangga. “Lihatlah Pa, anakmu ini sudah dewasa. Jika kau tahu dia akan menjadi anak yang pintar seperti ini, pasti dulu kau tak akan tega meninggalkan kami”, batin mama Rei. “Yaudah, kamu udah ditungguin sama calon papa dan adik kamu di depan”, kata mama Rei.
                Rei tersenyum. Dikuatnyanya hatinya yang dari tadi bergejolak tak menentu. Rei tahu saat ini akan tiba. “Tuhan, kuatkan aku. Ini demi mama”, batinnya. Rei melangkah perlahan menuju beranda depan, dimana telah menunggu calon papa dan adiknya. Seorang pria berwajah kebapakan menyalami Rei, memperkenalkan diri, “Handoyo. Ini pasti Rei, kan?”. Rei mencoba untuk tersenyum. “Sore, Om”, Rei balas menjabat tangan pria itu.
                “Oh iya, kenalkan. Ini anak Om satu-satunya”, kata pria bernama Handoyo itu memperkenalkan gadis di sampingnya. Gadis itu tersenyum manis. Senyum yang membuat batin Rei bergejolak. Sambil mengulurkan tangan, gadis itu menyebutkan namanya, “Violet”.

Rabu, 30 Januari 2013

Abu-Abu (part 2 of 3)



“aku selalu jujur. Ga ada yang aku tutupi kalo sama pacar. Iya kan Vi?”
“ya ga tau. Kita kan ga pacaran…”
“oh iya,, lupa..”
                Vio tersenyum mengingat percakapannya tadi siang dengan Rei. Entah mengapa dia menjadi lebih bersemangat menjalani hari sejak pertemuannya dengan Rei. Padahal Rei juga yang selalu membuatnya bimbang akan hatinya sendiri. Rei-lah yang membuat Vio selalu berdiri di atas abu-abu langkahnya. Jam kecil di meja belajarnya sudah menunjukkan pukul 00.19. Vio memejamkan matanya. “ayolah tidur”, bisiknya. Namun pikirannya masih enggan beristirahat, malah membawanya menelusuri hari-hari yang telah dia lewati bersama Rei.
“Violet, aku sayang kamu. Aku cinta kamu”, kata Rei beberapa bulan lalu
Belum selesai Vio mencerna kata-kata itu, Rei kembali berujar “tapi aku ga bisa pacaran ma kamu”.
                Sering kali Vio memutar kembali adegan itu di pikirannya. Tapi hingga saat ini pun ia masih tak bisa mengerti jalan pikiran Rei. “kalau ga bisa pacaran, kenapa juga musti bilang sayang, bilang cinta!”, omel Vio dalam hati. Dirinya kesal. Merasa dipermainkan oleh Rei. Vio bingung, hubungan apa yang sedang dijalaninya bersama Rei. Pernah suatu ketika Dina, temen Vio, bertanya, “Vi, kamu pacaran sama Rei ya?”. Vio sebenarnya bingung menamakan apa hubungannya dengan Rei. Yang jelas, bukan pacaran. Lantas Vio menjawab tegas pertanyaan Dina “Enggak ko! Aku sama Rei ga sedeket itu”. Hari berikutnya, Vio mendapati Rei dengan wajah cemberut.
“Kenapa Rei?” tanya Vio
“Ko kamu bilang ke Dina kalo kita ga deket?” Rei balik tanya
“Ya ampun Rei,, Dina tanya apa aku pacaran sama kamu. Aku kasih tau Dina kalo kita ga pacaran. Kita emang ga pacaran kan?”
“Ya tapi ga perlu setegas itu ngomongnya sama Dina”, kata Rei
Vio menghela nafas. Berharap beban hatinya akan berkurang seiring dengan hembusan nafas yang dihelanya. Rei Rei Rei… Selalu satu nama itu yang tak pernah absen dari pikiran Vio. Rei yang manja, Rei yang kekanakan, tapi Rei selalu bisa membuat Vio kagum dengan hal-hal tak terduga. Seringkali Vio merasa lelah dengan hubungan abu-abu yang dijalannya. Serba ga jelas dan terlihat samar. Beberapa kali Vio mencoba membatasi interaksinya dengan Rei. Ketika Rei pergi berhari-hari berkelana untuk berburu foto dengan kameranya, Vio selalu merenungkan tentang dirinya dan Rei. Saat jauh dari Rei, Vio bertekad dalam hati. Perjelas hubungan dengan Rei! Apapun yang akan terjadi nanti, hadapi! Kalaupun Vio harus kehilangan Rei yang masih bersikeras tak ingin pacaran, itu resiko. Tapi tekad hanyalah tekad. Saat Rei muncul kembali dengan setumpuk cerita yang selalu diawali dengan kalimat “Capek Vi,, tapi….”, Vio akan segera melupakan tekadnya dan berharap kebersamaannya dengan Rei tak segera berakhir. Vio tak  pernah bisa jauh dari Rei. Itu juga lah yang membuat Vio semakin kesal. “Cuman cowok ga jelas kayak gitu aja ko disayang!”, lagi-lagi Vio mengomeli diri sendiri. 
                Malam semakin larut. Vio masih termenung memandangi langit-langit kamar. “Biarkan saja megalir apa adanya, Violet”, katanya pada diri sendiri. Entah akan bermuara di mana hubungannya dengan Rei, Vio tak tau. Untuk saat ini, dia hanya ingin mengikuti ke mana arus membawa dirinya pergi. Vio meraba meja kecil di samping tempat tidurnya. Berharap musik dapat menenangkan pikirannya dan membuatnya tertidur, Vio meraih ipod kecil dan memasangkan earphone ke telinganya. Sambil memejamkan mata, Vio menekan tombol “play”.

seperti biasa aku diam tak bicara, hanya mampu pandangi bibir tipismu yang menari
sepert biasa aku tak sanggup berjanji, hanya mampu katakan aku cinta kau saat ini
(entah-iwan fals)





part 1 - violet
part 3 - jingga 

Selasa, 29 Januari 2013

Violet (part 1 of 3)



-Photo 001-
Violet. Gadis yang nabrak aku di perpus, trus pergi gitu aja. Anaknya kecil, tipe berisik yang ga mau diem. Entah kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang “menarik” aku buat slalu merhatiin dia. Manis sih, tapi biasanya butuh lebih dari manis buat narik perhatian seorang Rei.

-Photo 002-
Ketemu lagi sama gadis itu. Dia lagi makan sama temennya. Dia cerita sesuatu. Heboh banget. Sampe-sampe makannya belepotan gitu. Bukan tipe feminin. Kekanakan dan apa adanya. Aku suka.
           
-Photo 003-
Vio paling suka warna biru. Ga suka hujan, mendung, dan gerimis. Tiap gerimis, dia menghela nafas, trus cemberut. Bener-bener lebih cocok jadi anak SMP daripada jadi mahasiswa semester 4.

-Photo 004 -
Hari ini aku ngikutin dia jalan sendirian dari kampus. Tumben ga sama temennya. Ternyata dia tinggal di deket tempat biasa aku nongkrong ma anak-anak fotografi. Rumah mungil di deket rel kereta. Cuman tinggal berdua ma ayahnya. Kayaknya ayah Vio familiar banget. Pernah liat dimana ya…

-Photo 005-
Vio ga punya pacar. Dia sukanya nongkrong di rel kereta api deket rumahnya kasih makan kucing-kucing liar. “Sini anak-anakku sayang”, katanya waktu ngasih makan kucing-kucing itu.

-Photo 006-
 Seharian nyariin Vio di kampusnya gak ketemu. Ternyata hari ini dia bolos kuliah siang. Sorenya aku liat dia di kantin, ngomong ma temennya “Aku bolos kuliah siang. Ketiduran abis nglembur tugas buat kuliah sore”, katanya

-Photo 007-
Aku udah hampir aja ngajak dia ngobrol waktu sama-sama berteduh di halte. Tapi temennya keburu dateng nganterin payung. Vio… kapan aku bisa kenalan ma kamu?

-Photo 008-
Makin hari makin manis aja tuh anak. Hari ini dia gak kucir rambutnya kayak biasanya. Pokoknya besok aku musti kenalan sama dia.

-Photo 009-
Vio kayaknya sibuk banget. Mondar-mandir dari tadi. Kenalannya besok aja deh.

-Photo 010-
Akhirnya kenalan sama Vio. Ini foto terakhir yang aku ambil secara diam-diam. Dia lagi duduk di taman sendirian nungguin temennya. trus aku deketin aja dia. Aku bilang “Hei Vio, aku Rei”…

part 2 - abuabu 
part 3 - jingga 

Jumat, 25 Januari 2013

Senja di Madiun



Kita tertawa
Dalam kereta menuju kota
Satu-satu menyulam canda
Tentang aku dan kau
Yang takkan lagi menjadi kita

Melaju sendu, keretaku
Menyusuri garis sang waktu
Mengurai sekotak kisah
Menjadi serpihan kenangan

Nikmati kebersamaan kita, kawan
Sebelum menjadi cerita usang
Diantara kopi pahit dan pisang goreng

Genggam tanganku, kawan
Selama kereta ini masih melaju
Hingga tengah malam nanti
Senja ini, masih milik kita

                                                                                                                (Madiun, 25 Januari 2013)

Kamis, 10 Januari 2013

Aku ----- Rind(h)u



Ku tatap rona jingga
saat senja berlari pergi
bersama gerimis sore ini

Kepada siapa lagi aku berbagi malam?
Berbagi sepotong hitam
dan kerlip bintang
Kepada deru angin yang buatku beku?
Kepada awan yang segera menjadi hujan?
Kepada…
Ahh…
Aku mulai terbiasa
menikmati kopi hitam
dalam kesendirian

Bisu,, anganku
bercengkerama dalam bayang
dengan setangkai rindhu
berceloteh bak bocah-bocah
tak kenal lelah atau amarah

Biarkan saja!
Kodok-kodok menertawakan kita
Juga siput kerdil memandang ragu
ingin tahu
Biarkan saja
Ini ceritaku!
   :tentang kita
Aku… Rindhu… Kamu……