Langit berubah
jingga saat siang merangkak pergi. Berganti senja malu-malu menampakkan diri
sebelum malam mengambil tahtanya dan memeluk dunia dalam hitam. Rei masih
termenung di sudut café tempat favoritnya dengan Vio. Sudah setengah jam Rei menunggu
gadis itu. Tapi hingga kini, sosok gadis mungil itu belum juga terlihat.
Rei mulai resah. Baru saja hendak
mengambil handphone untuk menghubungi
Vio, bayangan gadis itu terlihat. Rei segera melambai kearahnya.
“Sori
telat, tadi diculik dulu sama mas Adit”, kata Vio begitu sampai di deket Rei.
Entah mengapa ada sedikit perasaan sakit di hati Rei begitu mendengar nama Adit dari mulut Vio. Apalagi karena Adit-lah Vio terlambat menemui Rei.
Entah mengapa ada sedikit perasaan sakit di hati Rei begitu mendengar nama Adit dari mulut Vio. Apalagi karena Adit-lah Vio terlambat menemui Rei.
“Owh,
diajakin pergi kemana?”, selidik Rei. Mau tak mau rasa penasarannya muncul
meski ia tahu jawaban Vio hanya akan melukai hatinya.
“Muter-muter
aja di taman kota”, jawab Vio pendek tanpa mengalihkan matanya dari daftar
menu.
“Trus ngapain? Ngobrolin apa?”. Tatapan Rei tak pernah lepas dari gadis di hadapannya. “Stop Rei! Kamu cuman akan nyakitin dirimu sendiri. Kamu udah tahu jawaban atas pertanyaanmu tadi!”, batin Rei berkata.
“Trus ngapain? Ngobrolin apa?”. Tatapan Rei tak pernah lepas dari gadis di hadapannya. “Stop Rei! Kamu cuman akan nyakitin dirimu sendiri. Kamu udah tahu jawaban atas pertanyaanmu tadi!”, batin Rei berkata.
Vio menghela nafas. Ditutupnya
daftar menu, lalu dipanggilnya pelayan café. Vio memesan cokelat dingin dan blueberry cheese cake kesukaannya.
Dengan tenang Vio menatap Rei.
“Mas
Adit bilang sayang sama aku. Dia mau aku jadi pacarnya.”, kata Vio datar.
Hening. Tatapan Rei terpaku pada
gadis itu. Hatinya panas. Dia tak suka ada orang lain yang memiliki Violet-nya.
Ada ribuan kata yang ingin dia ucapkan. Tapi mulutnya bisu. Otaknya tak lagi
bisa memilih kata mana yang akan diucapkannya terlebih dahulu.
“Bilang kalo kamu ga mau aku pacaran ma dia!
Bilang kalo kamu pengennya aku jadi pacar kamu!”, bisik Vio dalam hati.
Namun, bukan kata-kata itu yang Rei ucapkan. “Kamu terima?”, tanya Rei dengan
ekspresi yang sulit diartikan Vio. Vio menghela nafas. Pandangannya beralih ke
langit senja yang memudar kehitaman. “Aku nggak tau”, jawabnya setelah beberapa
saat. “Aku gak bisa kasih jawaban ke mas
Adit di tengah semua ketidakjelasan hubungan kita, Rei”, lanjutnya dalam
hati.
***
“Kamu ini
kenapa sih Rei? Kamu udah ga peduli ma Vio?”, Dina berteriak marah kepada
laki-laki di hadapannya. Udah sebulan sejak terakhir kali Rei bertemu Vio di
café, senja itu. Rei menunduk. Ditatapnya secangkir cappucino yang dia pesan di foodcourt kampus. “Rei!”, kata Dina
lagi “Violet sekarang lagi terbaring lemah di rumah sakit! Ntar sore kepalanya
bakalan dioperasi! Ada gumpalan darah karena benturan keras waktu dia kecelakaan
kemaren!”, lanjutnya. Rei menghela nafas. Hatinya sesak. Kalau mau menuruti
keinginannya, Rei pasti sudah di rumah sakit sekarang. Menemani Violet tanpa
pernah beranjak dari sisinya. Tapi Rei tak bisa melakukan itu. Ada secuil
hatinya yang tak mengijinkannya melakukan hal tersebut, setelah apa yang Rei
pastikan tadi malam. Rei sempat menengok Vio tadi malam, saat hatinya
didominasi oleh rasa cintanya pada Vio. Namun hatinya kembali bergejolak saat
tiba di depan kamar Vio. Bukan karena melihat wajah pucat gadis yang
dicintainya. Tapi karena Rei melihat orang lain yang menunggui Vio. Dina, Papa
Vio, dan seorang wanita yang sangat dikenalnya.
“REII!!!”,
Dina berteriak marah. “Ada kemungkinan Vio bakalan amnesia! Dia gak akan inget
apa-apa Rei!”. Rei menghela nafas. Menata hatinya yang kini terasa sesak.
“Mungkin ini yang terbaik buat aku sama Vio. Mungkin ini yang disebut takdir”,
Rei mulai berbicara. “Akan lebih baik kalau Vio gak inget apa-apa tentang aku”,
tambahnya.
“Aku gak habis
pikir! Vio tu sayang sama kamu. Kamu juga sayang sama Vio. Trus apa masalahnya
ampe kamu bertingkah kayak gini?" , Dina terus mencecar Rei.
“Ada banyak
hal yang kamu gak tau, Din”, Rei kembali menghela nafas. “Ini bukan hanya
tentang aku dan Vio.”
***
Tiga
bulan berlalu sejak Vio dioperasi. Benar dugaan dokter. Ada beberapa hal yang
Vio lupa. Termasuk pertemuannya dengan Rei. Vio hanya ingat kemampuan untuk
hidup sehari-hari seperti mandi, makan, memakai sepatu. Tapi Vio tak bisa
mengenali orang-orang yang pernah ada dalam hidupnya.
“Anak
mama ini ditungguin ko malah ngelamun”, sapa seorang wanita paruh baya pada
Rei. Rei mengalihkan pandangan dari jendela kamarnya ke arah pintu masuk, lalu
tersenyum. “Ngelamunin apa sih Rei?”, lanjut wanita itu.
“Gak
apa-apa kok Ma. Cuman inget temen lama”, jawab Rei singkat. Wanita itu berjalan
mendekati Rei. “Makasih ya Sayang, kamu udah menyetujui mama buat menikah
lagi”, wanita itu mengusap kepala Rei. Rei menyentuh tangan mamanya. “Apapun
Rei akan lakuin buat kebahagiaan mama. Mama yang udah jagain Rei dari kecil.
Mama yang selalu belain Rei waktu Rei diejek gak punya papa. Cuman mama yang
slalu ada buat Rei. Rei bakalan nglakuin apapun buat bikin mama bahagia”, ucap
Rei tulus.
Mama
Rei tersenyum. Ditatapnya putra satu-satunya yang kini telah tumbuh dewasa.
Bayi kecil yang dulu digendongnya itu kini telah menjadi sosok pria dewasa yang
membuatnya bangga. “Lihatlah Pa, anakmu
ini sudah dewasa. Jika kau tahu dia akan menjadi anak yang pintar seperti ini,
pasti dulu kau tak akan tega meninggalkan kami”, batin mama Rei. “Yaudah,
kamu udah ditungguin sama calon papa dan adik kamu di depan”, kata mama Rei.
Rei
tersenyum. Dikuatnyanya hatinya yang dari tadi bergejolak tak menentu. Rei tahu
saat ini akan tiba. “Tuhan, kuatkan aku.
Ini demi mama”, batinnya. Rei melangkah perlahan menuju beranda depan,
dimana telah menunggu calon papa dan adiknya. Seorang pria berwajah kebapakan
menyalami Rei, memperkenalkan diri, “Handoyo. Ini pasti Rei, kan?”. Rei mencoba
untuk tersenyum. “Sore, Om”, Rei balas menjabat tangan pria itu.
“Oh
iya, kenalkan. Ini anak Om satu-satunya”, kata pria bernama Handoyo itu
memperkenalkan gadis di sampingnya. Gadis itu tersenyum manis. Senyum yang
membuat batin Rei bergejolak. Sambil mengulurkan tangan, gadis itu menyebutkan
namanya, “Violet”.